Oleh : Nina Lijanti, S.Th.
Mengajar Kelas VIII Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti SMP Negeri 1 Semarang

Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti merupakan bagian integral dari kurikulum di sekolah-sekolah dengan latar belakang agama Kristen. Tujuan dari mata pelajaran ini adalah membentuk siswa menjadi individu yang memiliki nilai-nilai moral dan etika yang baik sesuai dengan ajaran agama Kristen. Namun, dalam penerapannya, sering kali kurikulum ini hanya berfokus pada pemahaman teks-teks keagamaan tanpa memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka.

Kemampuan berpikir kritis melibatkan proses analisis, evaluasi, dan sintesis informasi dengan kritis dan objektif sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang mendalam dan solusi yang kreatif. Kemampuan ini penting dalam membantu siswa dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari, baik yang berkaitan dengan agama maupun dengan budi pekerti. Oleh karena itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti (Saiful Bahri, 2017).

Salah satu model pembelajaran yang dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah Contextual Teaching and Learning (CTL), seperti yang diterapkan di SMP Negeri 1 Semarang. Model pembelajaran ini berfokus pada pengintegrasian antara materi pelajaran dengan konteks kehidupan nyata siswa. CTL mencoba untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan relevan bagi siswa dengan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, siswa dapat melihat relevansi dan tujuan dari apa yang mereka pelajari dalam kehidupan mereka (Hasnawati, 2016).

Beberapa prinsip utama dari CTL adalah: (1) Konstruktivisme: Siswa aktif terlibat dalam membangun pengetahuan dan pemahaman mereka melalui pengalaman belajar yang berarti. (2) Keterkaitan dengan Konteks: Materi pelajaran dihubungkan dengan kehidupan nyata siswa sehingga siswa dapat melihat aplikasi langsung dari apa yang mereka pelajari. (3) Pembelajaran Aktif: Siswa didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran, baik secara individu maupun kelompok. (4) Penggunaan Teknologi: CTL memanfaatkan teknologi dan sumber daya lainnya untuk meningkatkan proses pembelajaran. (5) Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis: Model ini secara khusus menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa (Kurniawati, 2019).

Implementasi model pembelajaran CTL dalam Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui beberapa cara: pertama adalah konteks pemahaman keagamaan. Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Kristen, materi yang diajarkan dapat dihubungkan dengan situasi dan peristiwa nyata dalam kehidupan siswa. Misalnya, mengaitkan ajaran-ajaran moral dengan situasi sosial yang sedang terjadi atau mengaitkan kisah-kisah dalam Alkitab dengan peristiwa sehari-hari. Hal ini membantu siswa untuk lebih memahami dan mengaitkan nilai-nilai agama dengan kehidupan mereka, sehingga dapat mengembangkan pemikiran kritis tentang bagaimana menerapkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan nyata.

Kedua adalah diskusi etika kontemporer. Model pembelajaran CTL juga dapat mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam diskusi tentang isu-isu etika dan moral yang kontemporer. Siswa dapat diajak untuk berpikir kritis tentang berbagai isu seperti keadilan sosial, pelestarian lingkungan, atau isu-isu kontroversial lainnya yang dapat berhubungan dengan ajaran agama Kristen. Melalui diskusi ini, siswa diajak untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka.

Ketiga adalah analisis teks keagamaan. Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Kristen, siswa sering kali diminta untuk memahami dan menganalisis teks-teks keagamaan seperti Alkitab atau kitab suci lainnya. Dengan menerapkan model CTL, guru dapat membimbing siswa untuk tidak hanya memahami konteks historis dari teks-teks tersebut tetapi juga mengaitkannya dengan konteks kehidupan masa kini. Hal ini dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang bagaimana ajaran-ajaran tersebut relevan dengan isu-isu kontemporer dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat adalah proyek berbasis nilai. Model CTL mendorong penerapan pembelajaran berbasis proyek. Dalam Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti, proyek semacam ini dapat berupa pengembangan program sosial, kampanye kepedulian terhadap lingkungan, atau kegiatan amal lainnya. Dalam proyek-proyek ini, siswa tidak hanya belajar tentang nilai-nilai Kristen atau budi pekerti, tetapi juga harus berpikir kritis dalam merancang dan melaksanakan proyek tersebut. Proses ini membangun kemampuan berpikir kritis siswa dalam merumuskan tujuan, mengidentifikasi masalah, mencari solusi, dan mengevaluasi hasil. (Prameswari, 2018)

Kemampuan berpikir kritis merupakan kompetensi penting yang harus dikuasai oleh siswa dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti, model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat menjadi solusi efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Terbukti dari hasil pengamatan dan analisis data kemampuan berpikir kritis siswa SMP Negeri 1 Semarang. Dengan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan nyata siswa, mengajak siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, mendorong diskusi tentang isu-isu etika kontemporer, serta melibatkan siswa dalam proyek berbasis nilai, model CTL membantu siswa untuk memahami relevansi dan tujuan dari apa yang mereka pelajari dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, disarankan bagi para guru untuk mengadopsi model pembelajaran CTL dalam pembelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti guna meningkatkan kompetensi berpikir kritis siswa dan membentuk karakter yang baik sesuai dengan nilai-nilai agama Kristen.